Beranda | Artikel
Mengapa Orang Islam Meninggalkan Sunah Itikaf?
Rabu, 20 September 2017

TUJUAN DASAR BERI’TIKAF, MENGAPA ORANG ISLAM MENINGGALKAN SUNNAH TERSEBUT

Pertanyaan
Kenapa umat Islam meninggalkan I”tikaf? Padahal itu adalah sunah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, dan apa tujuan dari beri’tikaf?

Jawaban
Alhamdulillah.

Pertama : I’tikaf termasuk sunah muakkadah (dianjurkan sekali), karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa melakukannya. Silahkan lihat dalil dianjurkannya dalam jawaban soal no. 48999. Sunnah ini telah meredup di kalangan umat Islam, kecuali orang yang dirahmati Allah. Masalah ini, sebagaimana kebanyakan sunah lainnya yang dilupakan umat Islam, karena beberapa sebab, di antanya adalah :

  1. Banyak orang yang lemah keimanannya.
  2. Terlalu berlebihan dalam (menikmati) kelezatan dunia dan nafsunya. Hal itu menjadikannya tidak mampu menjauhinya meskipun hanya sejenak.
  3. Meremehkan surga pada kebanyakan orang serta lebih condong santai. Mereka tidak ingin menanggung derita beri’tikaf meskipun hal itu di jalan menggapai keridhaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Barangsiapa mengetahui keagungan surga serta kenikmatannya, maka jiwa yang mulia akan berlomba untuk menggapainya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

 أَلا إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ غَالِيَةٌ ، أَلا إِنَّ سِلْعَةَ اللَّهِ الْجَنَّةُ   (رواه الترمذي وصححه الألباني، رقم 2450)

Ketahuilahbahwa barang dagangan Allah itu mahal, ketahuilah barang dagangan Allah itu adalah surga.” [HR. Tirmizi, dinyatakan shahih oleh Al-Albany, 2450]

  1. Kecintaan kepada Rasulullah di pada kebanyakan jiwa manusia hanya sekedar zahirnya, tanpa perbuatan. Yang terlihat pada penerapan sisi sunah Nabi Muhammad dalam berbagai sisi di antaranya adalah I’tikaf. Allah berfirman:

 لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً  (سورة الأحزاب: 21)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [Al-Ahzab/33: 21]

Ibnu Katsir rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini, 3/756 mengatakan: “Ini merupakan landasan pokok terbesar mencontoh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam perkataan, perbuatan dan semua kondisinya.”

Sebagian ulama salaf heran orang meninggalkan i’tikaf, padahal Nabi Shallallahu alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya.

Ibnu Syihab Az-Zuhri berkata, “Sangat mengherankan umat Islam  yang meningalkan I’tikaf. Padahal Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya sejak  masuk Madinah sampai Allah cabut nyawanya.”

Kedua : I’tikaf yang dibiasakan Nabi Shallallahu alaihi wa salla di akhir hayatnya dengan beri’tikaf sepuluh malam akhir Ramadan. Hari-hari tertentu ini bagaikan training terbawi (pembinaa) secara intensif yang hasilnya sangat positif. (Dapat) dirasakan secara langsung pada kehidupan manusia di hari dan malam I’tikaf. Dampaknya juga positif pada kehidupan manusia ke depannya dalam kehidupan sehari-harinya sampai (memasuki) Ramadan lain. Sungguh kita sangat membutuhkannya wahai umat islam untuk menghidupkan dan menunaikan sunnah ini dengan cara yang benar sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Sungguh kemenangan bagi orang yang berpegang teguh terhadap sunah di saat banyak umat ini yang  lalai dan melakukan kerusakan.

Ketiga : Tujuan dasar dari i’tikafnya Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam adalah ingin mendapatkan Lailatul Qadar.
Diriwayatkan oleh Muslim, 1167 dari Abu Said Al-Khudri Radhiallahu’anhu berkata:

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ (أي : خيمة صغيرة) عَلَى سُدَّتِهَا (أي : بابها) حَصِيرٌ قَالَ : فَأَخَذَ الْحَصِيرَ بِيَدِهِ فَنَحَّاهَا فِي نَاحِيَةِ الْقُبَّةِ ، ثُمَّ أَطْلَعَ رَأْسَهُ فَكَلَّمَ النَّاسَ ، فَدَنَوْا مِنْهُ ، فَقَالَ : إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ، ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ، ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِي : إِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ ، فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ ، فَاعْتَكَفَ النَّاسُ مَعَهُ

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh awal Ramadan. Kemudian beri’tikaf di sepuluh tengah Ramadan di tenda kecil. Dipintunya ada tikar. Berkata (Abu Said): “Beliau mengambil tikar dengan tangannya dan beliau bentangkan di sekitar tenda (Kubbah). Kemudian beliau mengeluarkan kepalanya dan berbicara dengan orang-orang. Dan orang-orang pada mendekat kepada beliau. Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya saya beri’tikaf di sepuluh pertama untuk mendapatkan malam ini (lailatul qadar). Kemudian saya beri’tikaf di sepuluh pertengahan, kemudian  didatangkan kepadaku dan dikatakan kepadaku, “Sesungguhnya ia (lailatul Qadar) berada di sepuluh akhir. Siapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf, maka beri’tikaflah (pada sepuluh akhir). Maka orang-orang berdi’tikaf bersama beliau.

Dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran, diantaranya,

  1. Bahwa tujuan utama dari I’tikaf Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah mencari Lailatul Qadar. Siap untuk melaksanakannya dan menghidupkan dengan beribadah. Hal itu karena agungnya malam ini. Allah Ta’ala berfirman, لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ  “Lailatul Qadar itu lebih mulia dibanding dari seribu bulan.” [Al-Qadar/97: 3]
  2. Kesungguhan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam mencarinya sebelum mengetahui waktunya. Sehingga beliau memulai di sepuluh awal, kemudian sepuluh pertengahan. Kemudian berlanjut terus menerus beri’tikaf sampai akhir bulan ketika mengetahui (Lailatul Qadar) berada di sepuluh akhir. Dan ini adalah puncak kesungguhan dalam menggapai lailatul qadar.
  3. Para shahabat radhiallahu’anhum mencontoh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, mereka memulai I’tikaf dan berlanjut bersama beliau sampai akhir bulan. Hal itu menunjukkan kesungguhan dalam mencontoh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
  4. Belas kasih dan kasih sayang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam kepada para shahabatnya. Ketika mengetahui kepenatan beri’tikaf, sehingga beliau memberikan pilihan kepada mereka meneruskan beri’tikaf bersamanya atau keluar dengan mengatakan,  فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ.Barangsiapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf, silahkan beri’tikaf.

Disamping itu, i’tikaf memiliki tujuan lain, di antaranya:

  1. Memutus hubungan dengan manusia sedapat mungkin, sehingga khalwatnya (menyendiri) bersama Allah Azza Wa Jalla lebih sempurna.
  2. Memperbaiki hati semaksimal mungkin dengan menghadap Allah Tabaroka Wata’ala
  3. Memutus hubungan dan  mengkhususkan untuk shalat, berdoa, zikir dan tilawah Al-Qur’an
  4. Menjaga puasa dari semua yang dapat mempengaruhinya baik dari keinginan jiwa maupun (godaan) syahwat.
  5. Meminimalisir perkara mubah dari urusan dunia dan lebih banyak zuhud sedapat mungkin.

Silahkan lihat buku ‘Al-I’tikaf, Nazrah Tarbawiyyah’ karangan DR. Abdul Latif Baltho.

Disalin dari islamqa


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/7430-tujuan-dasar-beritikaf-mengapa-orang-islam-meninggalkan-sunah-tersebut.html